Lebih dari 600 Pramuka Penggalang (11-15 tahun) dari seluruh Indonesia, berkumpul di Bumi Perkemahan Pramuka Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur, pekan lalu. Mereka adalah wakil-wakil dari 33 provinsi di Indonesia yang mengikuti Lomba Regu Pramuka Penggalang Tingkat Nasional atau tingkat V (LT-V). Setiap provinsi mengirimkan 1 regu putra dan 1 regu putri terbaiknya. Dalam lomba ini, regu putra dilombakan terpisah dengan regu putri.Satu regu terdiri dari 10 orang Pramuka Penggalang.
LT-V merupakan puncak dari lomba yang diadakan berjenjang mulai dari LT-I di tingkat Gugusdepan Pramuka (biasanya berpangkalan di sekolah atau di suatu RT/RW). Regu pemenang LT-I kemudian ikut berlomba di LT-II yang diadakan di tingkat Kwartir Ranting atau kecamatan. Pemenang LT-II berlomba lagi di LT-III yang diselenggarakan di tingkat Kwartir Cabang atau kotamadya/kabupaten. Selanjutnya, pemenang LT-III akan berlomba di tingkat Kwartir Daerah atau provinsi dalam LT-IV. Regu pemenang LT-IV itulah diikutsertakan dalam LT-V.
Selama sepekan, regu-regu itu mengikuti beragam kegiatan lomba. Mulai dari kegiatan memasak makanan khas daerah dari provinsi yang diwakilinya, semboyan dan isyarat baik melalui morse, semaphore, dan lainnya, kompas, peta topografi, peta panorama, mengenal tanaman, teknologi informasi (termasuk pengetahuan komputer), pentas saeni sampai bakti masyarakat dan sebagainya. Selain di Cibubur, regu-regu peserta juga mengadakan lomba di Bumi Perkemahan Bekasi, Jawa Barat. Di sana, regu-regu peserta lomba mengadakan penjelajahan, termasuk mempraktikkan kemampuan bertahan hidup (survival) di alam terbuka. Misalnya, bagaimana berkemah dengan peralatan sederhana dan seadannya, memasak makanan dengan peralatan masak yang terbatas, dan sebagainya.
Sebagaimana umumnya suatu lomba, tentu saja dewan juri harus melakukan penilaian dengan teliti. Namun, tak jarang, hasil penilaian mungkin saja, masih mengandung unsur subjektivitas seorang juri. Apalagi kalau lomba yang sifatnya tak terukur, seperti memilih makanan terbaik dari sekian banyak makanan yang ada, menilai gerakan dan teriakan saat regu-regu meneriakkan yel regu dan sebagainya.
Bahkan pada lomba yang penilaiannya terukur pun, seperti mengirim kalimat dengan isyarat morse atau semaphore, terkadang masih saja ada unsur subyektivitas dalam penilaian. Misalnya, menyangkut cara dan sikap mengirim isyarat dengan bendera semaphore, dan sebagainya.
Dalam lomba selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Terkadang pula terdapat penilaian yang tidak sempurna. Walaupun demikian, sudah sepantasnya hasil lomba diterima dengan lapang dada. Tak perlu meniru sikap seorang pembina dari salah satu provinsi yang menolak hasil lomba dengan berteriak di lapangan. Sementara adik-adik Pramuka Penggalang bergembira dalam suasana kompetisi, kok seolah-olah orang dewasa yang menjadi Pembina Pramuka, malah terkesan kurang puas?
Panitia dan dewan juri LT-V memang bukan yang terhebat dan terbaik. Namun, paling tidak harus diakui, mereka sudah berusaha sebaik mungkin. Penulis sendiri tidak masuk ke dalam kepanitiaan di bidang apa pun, tetapi mencoba menghormati keputusan yang telah dihasilkan dengan menetapkan tiga regu putra dan tiga regu putri sebagai yang terbaik.
Mereka adalah untuk kelompok putra: Regu Beprestasi Tinggi (Juara I) Lampung, Regu Beprestasi Baik (Juara II) Jawa Barat, dan Regu Berprestasi Cukup (Juara III) DI Yogyakarta. Sedangkan di kelompok putri: Regu Berprestasi Tinggi Jawa Barat, Regu Berprestasi Baik Jawa Tengah, dan Regu Berprestasi Cukup DKI Jakarta.
Selamat untuk yang berhasil, dan bagi yang belum berhasil, jangan putus asa. Bukankah ada ungkapan, "Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda". Jadi, berusaha lebih baik lagi di masa mendatang. Mungkin tidak lagi dalam lomba seperti LT-V, tetapi teruslah berusaha dalam berbagai kompetisi lainnya.